Banyak ahli, media, hingga masyarakat bertubi-tubi mengkritik tindakan pemerintah yang dirasa kurang tegas dan terlalu lambat dalam menyikapi pandemi COVID-19 di Indonesia. Mulai dari ketidaksiapan sistem kesehatan nasional, tumpang tindih kebijakan pemerintah di berbagai sektor, koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang belum rapi, hingga transparansi data COVID-19 yang diragukan oleh berbagai pihak.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah disodorkan dengan berbagai pilihan kebijakan yang menimbulkan konsekuensi berbeda-beda. Proses pengambilan kebijakan tersebut tentu sudah melalui sebuah proses yang panjang dengan menimbang berbagai resiko yang ada. Salah satu contoh yang paling nyata dan dekat bagi kita adalah kebijakan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan bukan karantina wilayah (lockdown). Bagi sebagian orang, kebijakan ini kurang tegas dan belum menimbulkan dampak yang signifikan bagi pencegahan COVID-19. Akan tetapi, apabila kita melihat dari sisi lain, apakah Indonesia sudah siap dengan dampak dari pemberlakuan karantina wilayah? Menurut pernyataan Presiden Jokowi dalam wawancaranya di salah satu acara televisi nasional,[1] untuk provinsi DKI Jakarta saja dibutuhkan bantuan sosial sebesar Rp550 miliyar per hari nya. Beberapa studi menunjukkan dampak signifikan dari karantina wilayah yang dapat menekan kurva penyebaran COVID-19,[2] akan tetapi apabila itu diberlakukan di Indonesia dan kita melihat dari aspek yang luas, apakah kita siap menanggung resikonya? Begitu juga kebijakan di sektor lain seperti transportasi (KRL, pesawat, kapal laut, dll), larangan mudik, larangan operasi bagi berbagai sektor industri,dan sektor-sektor lain. Tidak ada satu kebijakan pun yang tidak berdampak negatif bagi salah satu aspek kehidupan, baik itu ekonomi ataupun kesehatan.
Gambaran di atas membuat kita berpikir, lalu manakah yang lebih penting di saat-saat ini, menyelamatkan perekonomian nasional dan keberlangsungan hidup tiap warga negara, atau fokus pada aspek kesehatan sebagai aspek yang terpenting dan mencegah COVID-19? Jokowi dalam sesi wawancaranya memberi sebuah jawaban menarik. Beliau berkata "Kesehatan adalah aspek prioritas, tetapi selalu ada relevansi dan keterkaitan antara kesehatan dengan aspek lain seperti ekonomi. Contohnya, apabila ekonomi tidak diselamatkan, orang tidak bisa makan, imunitas melemah, lalu bisa mudah menjadi sakit [...]" Sepintas jawaban tersebut adalah jawaban yang cukup diplomatis. Tetapi menurut penulis, jawaban tersebut secara implisit menggambarkan betapa besar dilema yang dirasakan oleh pemerintah, bahwa tidak serta merta pilihan yang ada di meja adalah A atau B, tetapi lebih jauh dari itu, mengenai dampak dari A atau dampak dari B yang berkepanjangan. Bahkan Jokowi mengatakan bahwa pilihan-pilihan yang harus diambilnya pada masa-masa ini adalah bad-bad options, bukan good-good options.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas akan berpendapat bahwa kesehatan adalah yang utama, tetapi sebaliknya, masyarakat menengah ke bawah akan berpendapat mendapatkan uang untuk makan dan bertahan untuk tetap hidup hari ini adalah yang utama. Pendapat itu pun dilengkapi dengan persepektif dan latar belakangnya masing-masing.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengajak kita semua untuk mencoba memahami dilema pemerintah dalam proses pengambilan keputusannya. Penulis tertarik untuk menggunakan teori Utilitarianism dari Jeremy Bentham,[3] seorang filsuf moral dan ahli hukum dari Inggris.
Utilitarianism secara sederhana adalah sebuah pandangan yang mengatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan baik atau buruk secara moral, berdasarkan pada nilai kemanfaatan dari tindakan tersebut. Indikator yang dipakai dalam mengukur nilai kemanfaatan dari sebuah tindakan adalah tingkat kebahagiaan yang dihasilkan. Semakin besar kebahagiaan yang ditimbulkan, semakin baik tindakan tersebut. Ada tujuh kriteria yang dipakai oleh Bentham sebagai indikator untuk mengukur nilai kemanfaatan (kebahagiaan) dari sebuah tindakan.[4] Kita akan mencoba menganalisa dilema pemerintah dalam menentukan prioritas kebijakan antara kesehatan atau ekonomi menggunakan indikator-indikator tersebut.
Intensitas dipahami sebagai seberapa besar kekuatan/intensitas dari sebuah kebahagiaan. Hal ini dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kualitatif. Manakah yang lebih besar intensitasnya, kebahagiaan apabila ekonomi negara dan rakyatnya terselamatkan atau kebahagiaan apabila jumlah warga yang meninggal karena COVID-19 seminimal mungkin? Menurut penulis, kebahagiaan melihat rakyat bisa makan dan bertahan hidup sama kuatnya dengan kebahagiaan melihat masyarakat sehat dan tidak meninggal akibat COVID-19 serta tenaga medis yang tidak kewalahan setiap harinya. Sebaliknya, melihat masyarakat yang tidak bisa memberi makan anak istrinya sama menderitanya dengan melihat keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat COVID-19 termasuk tenaga medis yang berguguran dalam pengabdiannya.
Semakin lama kebahagiaan dari sebuah tindakan itu dapat dirasakan, maka tindakan itu semakin baik. Pihak yang mendukung ekonomi sebagai prioritas akan berpendapat bahwa apabila pemerintah tidak menyelamatkan ekonomi negara, maka kita akan mengalami keterpurukan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang. Banyak ahli ekonomi mulai memprediksi bahwa dampak ekonomi pasca COVID-19 dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama.[5] Dengan kata lain, menyelamatkan ekonomi negara dapat memberi kebahagiaan yang panjang karena menghindarkan masyarakat dari krisis yang bekrepanjangan. Di sisi lain, secara obyektif penulis berpendapat bahwa kebahagian yang timbul dari hilangnya pandemi COVID-19 bagi masyarakat luas mungkin tidak sepanjang kebahagiaan atas terbebas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Masyarakat akan berbahagia dengan bebasnya Indonesia dari COVID-19, akan tetapi kebahagiaan itu tidak akan berlangsung lama. Setidaknya akan lebih singkat daripada kebahagiaan karena terhindar dari krisis ekonomi berkepanjangan. Akan tetapi, bagi warga yang keluarganya menjadi korban COVID-19, penderitaan itu adalah penderitaan yang berkepanjangan. Artinya, dengan mengutamakan kesehatan, seharusnya dapat menghindarkan penderitaan yang berkepanjangan dari keluarga-keluarga tersebut.
Semakin pasti kebahagiaan dari suatu tindakan itu dapat diraih, maka semakin baik tindakan tersebut. Kedua prioritas tersebut baik kesehatan atau ekonomi, sama-sama memberi kepastian akan kebahagiaan. Terhindar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan tentu memberikan kebahagiaan bagi masyarakat sehingga dapat menjalani kehidupannya sehari-hari dengan baik dan layak. Berhasil melewati pandemi COVID-19 dengan sehat juga tentu memberi kebahagian bagi masyarakat.
Semakin dekat rentang waktu antara masa sekarang dengan kebahagiaan yang diharapakan dari suatu tindakan, maka semakin baik tindakan tersebut. Memperioritaskan ekonomi akan memberi kebahagiaan bahwa pada saat itu juga masyarakat tetap bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan bertahan hidup. Memprioritaskan kesehatan akan memberi kebahagiaan bahwa pada saat itu juga masyarakat akan terhindar dari penularan COVID-19. Kedua prioritas tersebut memiliki harapan akan kebahagiaan yang dekat dengan masa sekarang.
Apabila suatu kebahagiaan dari sebuah tindakan dapat berbuah menjadi kebahagiaan atau hal-hal positif lainnya yang lebih banyak, maka semakin baik tindakan tersebut. Baik kesehatan ataupun ekonomi memiliki nilai keberbuahan yang sama besarnya. Dengan terbebasnya masyarakat dari COVID-19, maka masyarakat dapat menjadi lebih produktif dalam berkegiatan sehingga roda ekonomi kembali berjalan. Di sisi lain, apabila ekonomi masyarakat diselamatkan, maka masyarakat dapat melakukan hal-hal yang diperlukan untuk bertahan hidup dan juga mencegah terjangkit penyakit seperti makan yang bergizi.
Semakin murni suatu kebahagiaan itu dan terbebas dari penderitaan yang mungkin menyertai sebagai konsekuensi atas suatu tindakan, maka semakin baik tindakan tersebut. Kemurnian dari kebahagiaan atas terselamatkan dari krisis ekonomi tetapi dikotori dengan penderitaan melihat berbagai nyawa yang menghilang akibat COVID-19 dan penderitaan yang dialami keluarganya, sama keruhnya dengan kemurnian dari kebahagiaan atas keberhasilan melewati masa pandemi COVID-19 dengan sehat tetapi harus melihat banyak orang kehilangan pekerjaan, tidak bisa makan, putus sekolah, dan kehilangan kehidupan. Bagi penulis, tidak ada pilihan yang mendatangkan kebahagiaan yang lebih murni.
Semakin banyak cakupan dari pihak yang turut merasakan kebahagiaan atas suatu tindakan, maka semakin baik tindakan tersebut. Dalam indikator ini, harus diakui bahwa kesehatan memberi cakupan kebahagiaan yang lebih luas. COVID-19 dapat menyerang siapa saja dari berbagai usia dan kelangan. Oleh karena itu, keberhasilan membebaskan masyarakat dari pandemi COVID-19 memberi kebahagiaan kepada seluruh masyarakat yang ada. Di sisi lain, tidak semua warga masyarakat akan merasakan penderitaan apabila terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Walaupun hanya sebagian kecil, tetapi tetap ada sebagian kelompok orang yang akan tetap bertahan walaupun terjadi krisi ekonomi yang berkepanjangan. Oleh karena itu, secara obyektif dapat disimpulkan bahwa cakupan kebahagiaan dari memprioritaskan kesehatan lebih luas daripada cakupan kebahagiaan dari memprioritaskan ekonomi.
Uraian penulis di atas tidak bertujuan untuk menghakimi apakah pemerintah sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan kebenaran moral atau belum. Apalagi penulis hanya mengulas menggunakan salah satu teori moral sebagai contoh. Uraian tersebut juga bukan merupakan sebuah hasil penelitian dengan metode yang terukur dan obyektif, tetapi hasil analisa dari pemikiran pribadi penulis. Akan tetapi, uraian tersebut dapat memberi pandangan bagi kita, betapa sulit dan kompleksnya dilema yang harus dihadapi pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan yang ada.
Setiap keputusan dalam hidup manusia pasti disertai dengan konsekuensi baik positif ataupun negatif, begitu juga bagi kehidupan bernegara. Tidak mungkin ada kebijakan yang menyenangkan bagi seluruh masyarakat, bahkan di luar kondisi pandemi sekalipun. Di sisi lain, pemerintah juga bukanlah sosok yang maha sempurna. Faktanya, memang banyak blunder yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pernyataan beberapa menteri yang saling bertolak belakang, tarik ulur kebijakan, pembatalan kebijakan, dan kesalahan-kesalahan lain. Akan tetapi, dengan memahami kondisi dilematis yang harus dihadapi semua orang di negara kita saat ini termasuk oleh pemerintah, dan memahami bahwa pemerintah terus berusaha melakukan yang terbaik walaupun tetap ada kesalahan yang dilakukan, kiranya membuat kita lebih bersabar dan mendukung pemerintah dalam segenap upaya yang dilakukan. Mendukung dan memaafkan pemerintah bukan berarti diam dan tidak mencoba memberi saran untuk perbaikan kesalahan tersebut. Justru kritik yang membangun, saran yang bermanfaat, yang disampaikan secara tepat sasaran tentu juga merupakan sebuah dukungan bagi pemerintah. Tetapi janganlah kita memperkeruh suasana dengan ungkapan-ungkapan kebencian, pandangan-pandangan negatif tanpa dasar berpikir yang jelas, serta menyalahkan berbagai pihak tanpa mencoba mengerti rasional dan latar belakang pemikiran mereka terlebih dahulu.
Marilah kita sibuk melakukan bagian kita masing-masing dalam memberantas COVID-19 serta dampak yang ditimbulkan dengan melakukan perbuatan nyata dari rumah kita masing-masing. Disiplin menjalankan social distancing dan physical distancing, memberi bantuan bagi yang membutuhkan melalui beragai kegiatan dan sarana sosial yang ada, membagikan narasi positif di group whatsapp kita, serta melakukan kegiatan yang positif bersama keluarga di rumah. Marilah kita juga saling mendukung dan mendoakan untuk menjaga keberlangsungan hidup umat manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara kita bersama.
[1] Mata Najwa Episode "Jokowi Diuji Pandemi" Rabu, 22 April 2020 dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=JFHHzLixfXA.
[2] Sault, Samantha, 2020, “Why lockdowns can halt the spread of COVID-19", https://www.weforum.org/agenda/2020/03/why-lockdowns-work-epidemics-coronavirus-covid19/, diakses 23 April 2020.
[3] Informasi lebih lengkap mengenai Jeremy Bentham dapat diakses di https://www.ucl.ac.uk/bentham-project/who-was-jeremy-bentham
[4] Driver, Julia, 2007, Ethics: The Fundamentals (Fundamentals of Philosophy), Blackwell Publishing, Oxford.
[5] Agustiyanti, 2020, “Mewaspadai Ancaman Krisis Ekonomi Panjang Imbas Pandemi Corona", https://katadata.co.id/telaah/2020/04/22/mewaspadai-ancaman-krisis-ekonomi-panjang-imbas-pandemi-corona, diakses 23 April 2020.
Picture Courtesy of Solopos.com