Selain isu kesehatan dan ekonomi, ketenagakerjaan juga menjadi isu yang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan karena memberikan tekanan bagi kedua sisi, yaitu pengusaha dan pekerja. Kebijakan pemerintah yang harus diambil dalam penanggulangan pandemi COVID-19 telah mengakibatkan banyak perusahaan terpaksa menghentikan kegiatan usahanya. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak sanggup membayar gaji karyawannya hingga berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pada dasarnya, Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk melindungi hak pekerja dan pengusaha dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UU Tenaker"), termasuk mengatur hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha apabila terjadi PHK. Dalam artikel ini, penulis akan membahas apa saja hak yang masih dimiliki dan dapat diperjuangkan oleh pekerja yang mengalami PHK lengkap degan sisi dilematis dalam penerapan UU Tenaker ini dalam masa pandemi COVID-19. Di samping itu, tanpa mengesampingkan peran pemerintah, penulis juga akan mengkaji secara singkat langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam upaya melindungi para pekerja beserta dengan permasalahan yang sudah dan dapat terjadi akibat kebijakan tesebut.
Bagi-bagi Bantuan Pemerintah
Berdasarkan pengamatan penulis, paling sedikit ada empat kebijakan diambil pemerintah dalam upaya mencegah terjadinya PHK dan membantu masyarakat yang terdampak PHK.
Pertama, mengutip dari tirto.id,[1] pemerintah melalui Menteri Keuangan telah memberikan beberapa insentif perpajakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 23 tahun 2020 ("Permenkeu 23/2020"). Kebijakan perpajakan tersebut antara lain pemerintah menanggung PPh 21 pekerja, pembebasan PPh 22 Impor bagi pengusaha, pengurangan angsuran PPh 25 sebesar 30%, serta insentif PPN, bagi pekerja dan/atau pengusaha yang memenuhi beberapa kriteria dalam Permenkeu 23/2020. Tujuan utama dari pemberian insentif perpajakan ini adalah untuk meringankan beban pengusaha dan pekerja dengan harapan dapat membantu kegiatan usaha tetap bertahan dan menghindari terjadinya PHK.
Kedua, bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah juga menerbitkan surat hutang khusus. Mengutip pernyataan Sri Mulyani,[2] obligasi negara tersebut akan digunakan untuk menambah likuiditas pelaku usaha UMKM, dengan harapan supaya tetap dapat menggaji karyawannya dan tidak melakukan PHK.
Selanjutnya, bagi pekerja yang sudah menjadi korban PHK, pemerintah melalui BP Jamsostek juga akan memberikan bantuan paling sedikit Rp1 juta per kepala selama tiga bulan sekaligus pelatihan bekerja.[3]
Keempat, meskipun menuai pro dan kontra, pemerintah optimis bahwa Kartu Prakerja dapat menjadi salah satu bantuan bagi masyarakat yang terdampak PHK. Mengutip dari Kompas,[4] para peserta Kartu Prakerja akan mendapat bantuan sebesar Rp 3,550 juta untuk pelatihan dan insentif. Dalam interview di program Mata Najwa, Presiden Jokowi mengatakan bahwa memang semangat Kartu Prakerja ini bukanlah murni bantuan sosial, tetapi semi bantuan sosial karena diikuti dengan kewajiban pelatihan. Sebagian masyarakat menilai positif gebrakan pemerintah yang mewajibkan perserta untuk belajar sebelum mendapatkan bantuan. Tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang mempertanyakan prosedur pemberian bantuan tersebut karena dirasa kurang sesuai dengan kebutuhan dalam keadaan sekarang.
Pemerintah Menghimbau, Pengusaha dan Pekerja: "Kalo cuma 'himbauan', gue juga bisa!"
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah melalui menteri terkait juga turut merespon isu ketenagakerjaan dan PHK. Dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 ("SE 3/2020"), dinyatakan bahwa apabila suatu kegiatan usaha terhambat akibat adanya kebijakan pembatasan sosialisasi di daerahnya, maka pengupahan dilakukan dengan cara kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. Ketua Umum Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos berpendapat bahwa dibukanya kesempatan negosiasi dalam proses pengupahan ini bertentangan dengan semangat UU Tenaker yang menjamin hak pekerja dalam keadaan darurat sekalipun.[5] Secara hukum, walaupun surat edaran bukanlah sebuah produk peraturan perundang-undangan, tetapi sebuah surat edaran harus dipahami sebagai sebuah petunjuk teknis pelaksanaan peraturan lain yang dirujuk. Artinya, dengan adanya SE 3/2020 tersebut, pelaksanaan hak pekerja yang dijamin dalam UU Tenaker harus mengikuti prosedur yang diatur dalam SE 3/2020, yaitu melalui jalur kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Di sisi lain, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sudah mengingatkan para pengusaha bahwa kewajiban pemberian THR tetap harus dijalankan karena itu adalah mandat peraturan yang masih berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.[6] Hal ini dipertegas oleh Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ("SE 6/2020"), yang selain menyatakan perusahaan untuk tetap membayar THR dan mekanisme bagi perusahaan tidak dapat membayar THR, juga instruksi pembentukan Posko THR 2020 di masing-masing provinsi. SE 6/2020 ini setidaknya memberikan angin sejuk untuk pekerja yang menantikan kepastian akankah mereka tetap menerima THR nanti. Namun SE 6/2020 tersebut tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya sehingga tidak akan mendapat THR .
PHK dan Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan di tengah Pandemi COVID-19: Bisakah berjalan?
PHK yang terjadi pada kondisi pandemi ini juga menyebabkan kondisi dilema bagi pekerja yang terkena PHK karena belum adanya aturan peralihan/sementara bagi pekerja yang hendak mengajukan keberatan atas pemutusan hubungan kerja tersebut. Akibatnya, korban PHK hanya dapat mengikuti mekanisme yang tercantum pada peraturan perundang-undangan yang sulit untuk direalisasikan karena terdapatnya ketidakpastian hukum. Mekanisme-mekanisme yang tertera semakin sulit untuk dilakukan karena imbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diberlakukan kepada masyarakat.
Mengacu kepada definisi yang terdapat di dalam UU Tenaker, hubungan industrial meliputi unsur-unsur pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang meyakini bahwa bekerja merupakan bentuk pengabdian, pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi, dan mengutamakan kemajuan perusahaan sebagai kepentingan bersama.[7] Hal-hal inilah yang layaknya tetap menjadi kiblat bagi unsur-unsur di dalam hubungan industrial dalam menentukan keputusan dan membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan hubungan kerja pada masa pandemi ini. Baik pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan, pengusaha sebagai pemberi kerja yang membayar upah, dan pekerja sebagai pihak yang bekerja untuk menerima upah.[AH1]
Dari sisi pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya akan memiliki beberapa hak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa keadaan dimana perusahaan memilih untuk melakukan PHK, diantaranya adalah perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 tahun, perusahaan dalam keadaan memaksa (force majeur) atau ketika perusahaan melakukan efisiensi.[8] Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di UU Tenaker, hal tersebut menjadikan pekerja yang diputus hubungan kerjanya akan memiliki hak untuk menerima uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, juga uang penggantian hak.[9]
Pada kondisi normal, korban PHK yang belum menyetujui dan merasa keberatan dengan pemutusan hubungan kerjanya dapat melakukan proses perundingan bipartit,[10] mekanisme mediasi atau konsiliasi dengan pemberi kerja,[11] hingga pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[12] Namun dengan realita kondisi yang tidak normal saat pandemi ini, menjadikan proses-proses tersebut untuk sulit dijalankan oleh pekerja yang mencari keadilan dari kesukaran yang dialaminya. Demikian pula bagi pengusaha yang terpaksa untuk memutuskan hubungan kerja, mereka tidak dapat mengemukakan justifikasi dibalik keputusan PHK-nya dengan baik mengacu kepada prosedur yang berlaku. Dilematika yang dialami oleh kedua sisi inilah yang sebenarnya dapat menjadi petaka bagi kesejahteraan negara kita apabila dibiarkan terjadi terus menerus.
Pada kondisi seperti inilah unsur pemerintah memiliki peran yang signifikan. Pemerintah adalah satu-satunya pihak yang dapat memberikan bantuan ketika pengusaha dan pekerja menemui kebuntuan dengan batas kemampuan yang mereka miliki. Pemerintahlah yang memiliki wewenang dalam pengaturan yang terdapat didalam negara juga berkewajiban untuk melindungi warganya, yang dalam hal ini termasuk memastikan terjadinya due process of law dalam aspek ketenagakerjaan selama pandemi ini. Maka sudah menjadi tugas pemerintah dalam hal memberikan kejelasan dan kepastian mekanisme penyelesaian perselisihan antar pengusaha dan pekerja.
Pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme alternatif dalam perselisihan dalam hubungan kerja menjadi esensial dikarenakan efek domino yang berdampak dari perselisihan yang tidak kunjung diselesaikan. Dengan PHK yang kian semakin marak jumlahnya, tingkat pengangguran akan semakin tinggi yang mengakibatkan jumlah kemiskinan akan meningkat pula. Terdapat juga kemungkinan-kemungkinan seperti tutupnya usaha-usaha yang tidak dapat melewati masa pandemi atau seminimal-minimalnya penurunan produktifitas dari perusahaan yang dapat hidup melewati masa pandemi. Hal-hal tersebut mengakibatkan bertambah lamanya waktu yang dibutuhkan memulihkan kondisi ekonomi kedepannya setelah pandemi berakhir.
Ragam Bentuk Langkah oleh Pengusaha Terhadap Pekerja; Gak PHK kok kayak PHK
Improvise, adapt, overcome. Jika ada kata-kata yang dapat menggambarkan langkah yang diambil oleh banyak pengusaha terhadap usahanya dalam kondisi pandemi ini adalah tiga kata tersebut. Demi mempertahankan usaha yang telah diperjuangkan dan untuk menjaga pemasukan untuk menyambung hidup, berbagai macam langkah diambil oleh pengusaha-pengusaha yang ada di Indonesia. Mulai dari perubahan bentuk usaha seperti yang dari jasa katering pernikahan menjadi jasa katering harian keluarga, produsen parfum berubah menjadi produsen hand sanitizer, sampai jasa pembuatan busana yang beralih menjajakan masker kain bermotif menarik. Hal-hal tersebut dilakukan oleh pengusaha untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan guna menyambung hidupnya dan hidup pekerja-pekerjanya.
Namun dalam beberapa kasus, langkah yang diambil oleh pengusaha tidak jauh dari atau kurang lebih seirama dengan pemutusan hubungan kerja. Ketidakmampuan dalam memberikan upah lagi kepada pekerja-pekerjanya (yang juga berkesinambungan dengan produktifitas yang turun) menjadikan PHK sebagai tindakan yang cenderung dilakukan. Dalam kasus tertentu, terdapat pengusaha yang memilih untuk tidak memutus hubungan kerja pekerjanya dan merumahkan pekerjanya dengan konsekuensi pekerja hanya menerima 10% dari total gaji yang seharusnya diterima.[13] Keadaan di lapangan menunjukkan betapa besarnya dampak pemutusan hubungan kerja yang terjadi di Indonesia.
Salah satu aspek yang jelas mendapat dampak dari pemutusan hubungan kerja yang terjadi adalah kualitas hidup yang dimiliki oleh korban PHK. Beberapa korban PHK mungkin ada yang cukup beruntung jika memiliki keluarga yang masih dapat membantu, atau tetangga di lingkungan tempat tinggal yang saling bantu satu sama lain dengan asas gotong royong, namun tidak semua orang mengenyam nasib yang sama. Faktanya, ada keluarga yang dalam kondisi pandemi ini masih harus berpindah-pindah tinggalnya agar mereka dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka di hari-hari mendatang.[14] Kondisi-kondisi seperti ini yang sudah harusnya menjadi perhatian, tidak hanya pemerintah, namun juga seluruh pihak baik pekerja maupun pengusaha untuk dapat bahu-membahu meminimalisir hal-hal seperti ini terjadi kedepannya.
Kebijakan Ketenagakerjaan: Jadi, solusinya gimana?
Dalam kacamata penulis, pemerintah memilih untuk mengambil jalan tengah dalam menyikapi polemik PHK dalam masa pandemi ini. Tentu hal ini dapat dipahami, baik dari segi politik ekonomi, maupun kemanusiaan. Dari segi politik ekonomi, sangat sulit bagi pemerintah jika harus memaksa pengusaha untuk tidak melakukan PHK sama sekali dalam keadaan apapun juga. Hal ini tentu disebabkan oleh realita di lapangan yang nyatanya berbagai kegiatan usaha tidak dapat beroperasi pada masa pandemi ini, atau meskipun dapat menjalankan produksinya, tetapi tidak ada konsumsi oleh masyarakat.
Apabila pemerintah tidak memberi "kelonggaran" bagi pengusaha dengan membuka kesempatan negosiasi seperti tercantum dalam SE 3/2020, maka sudah dapat diduga bahwa akan lebih banyak lagi usaha yang gulung tikar, dan roda perekonomian akan semakin anjlok.
Berbagai insentif bagi perusahaan yang digelontorkan pun bertujuan untuk membantu pengusaha mencegah terjadinya PHK yang lebih besar lagi. Dari segi kemanusiaan, pemerintah juga berupaya untuk tetap menghidupi masyarakat yang menjadi korban PHK dengan memberi berbagai bantuan sosial, baik dari Kementerian Sosial, BP Jamsostek, ataupun Kartu Prakerja. Dalam segala ketidaksempurnaan sistem dan teknis pelaksanaannya, pemerintah tetap berupaya menjaga kehidupan dan kesejahteraan warganya.
Di sisi lain, tidak ada mekanisme yang dapat menjamin bahwa insentif dan kelonggaran yang diberikan pemerintah bagi pengusaha untuk mencegah PHK pekerjanya, benar-benar dimanfaatkan untuk menjaga para pekerjanya dan bukan untuk menekan angka kerugian semaksimal mungkin saja. Bagi para pengusaha yang kurang berjiwa sosial, penghapusan berbagai pajak dapat serta merta dimanfaatkan pengusaha untuk kepentingan perusahaan semata dan bukan untuk kepentingan pekerja. Berbagai bantuan yang diberikan pemerintah pun tidak luput dari berbagai permasalahan teknis mulai dari masalah pendataan, pengadaan bantuan, hingga pelaksanaan distribusi bantuan.
Dari berbagai dilema tersebut, penulis mengajak kita semua untuk menyadari bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Sebaik dan sehebat apapun pemerintah suatu negara, setiap kebijakan yang diambil membutuhkan kerjasama dan dukungan nyata dari masyarakat khususnya pihak yang terkait.
Contohnya, kebijakan keringanan perpajakan tidak dapat membantu nasib para pekerja apabila tidak ada iktikad baik dari pengusaha untuk memanfaatkan kebijakan tersebut untuk menyelamatkan kehidupan para pekerjanya. Bukankah kegiatan bisnis tidak selalu tentang berapa besar keuntungan yang dapat dihasilkan, tetapi juga berapa besar perusahaan dapat menjadi berkat bagi orang lain? Pelaksanaan bantuan sosial juga menuntut partisipasi aktif dari masyarakat, baik tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk memimpin dan mengawasi langsung proses pendataan hingga pembagian bantuan, atau juga dari setiap individu untuk bergerak aktif mencari informasi dan tidak hanya berpangku tangan di rumah dan mengeluh.
Permasalahan sistem bukanlah masalah yang baru muncul satu dua hari saja, tetapi ini adalah hasil dari penumpukan berbagai masalah teknis yang tidak kunjung diselesaikan dari masa ke masa. Contohnya, permasalahan pendataan masyarakat selalu menjadi masalah yang tak kunjung ditemukan solusinya dari tahun ke tahun. Sekarang, begitu ada kebutuhan mendesak tentang sistem pendapaatn tersebut, barulah masyarakat dan pemerintah sadar akan pentingnya menanggulangi masalah sejak dini.
Masa-masa ini seharusnya menjadi masa refleksi bagi diri kita dan juga pemerintah, akan betapa banyaknya kendala di berbagai sektor yang seharusnya sudah diselesaikan dari jauh hari supaya kita lebih siap menghadapi masalah yang tidak terduga seperti saat ini. Akan tetapi, permasalahan yang ada juga menjadi ujian kemanusiaan bagi setiap pengusaha dan unsur masyarakat yang terkait, bagaimana kita menjaga rasa kemanusiaan dan solidaritas kita sebagai warga negara yang dewasa dan tidak egois. Marilah bersama kita fokus pada tindakan positif untuk mengatasi masalah yang ada dan melakukan tindakan nyata dalam saling membantu di tengah masa yang sulit ini, dan bukannya sibuk menyalahkan berbagai pihak, berpikiran negatif dan saling menuduh antar pihak. Kiranya pengalaman ini boleh menjadi titik tolak bagi pemerintah dan segenap masyarakat untuk mempersiapkan Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Written by Agathon Henryanto & Bhawika Prabhuttama
[1] https://tirto.id/sri-mulyani-beri-4-insentif-pajak-ke-pengusaha-terdampak-covid-19-eHNG
[2] https://money.kompas.com/read/2020/04/12/092325726/5-upaya-jokowi-selamatkan-nasib-karyawan-selama-wabah-virus-corona?page=all
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] https://tirto.id/saat-pandemi-corona-jokowi-gagal-melindungi-buruh-dari-phk-eLlR
[6] https://money.kompas.com/read/2020/04/12/092325726/5-upaya-jokowi-selamatkan-nasib-karyawan-selama-wabah-virus-corona?
[7] Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 50.
[8] Pasal 164 UU No. 13 tahun 2003
[9] Ibid.
[10] Pasal 151 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003
[11] Pasal 4 UU No. 2 tahun 2004
[12] Pasal 5 UU No.2 tahun 2004
[13] https://tirto.id/nasib-kami-yang-di-phk-karena-corona-eNC6
[14] https://regional.kompas.com/read/2020/05/06/19242691/kisah-pilu-keluarga-dengan-balita-di-solo-tinggal-di-becak-bapak-di-phk
Picture Courtesy of cianjurekspres.net